Beberapa hari lalu saya baru kembali dari pulau kelahiran. Karena ada perayaan Maulis Nabi, saya dan suami memutuskan untuk menutup toko dan kantor di rumah dan kembali ke kampung halaman. Karena disana, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran dan meriah. Tali silaturrahmi terjalin dengan sangat solid dan penuh suka cita.
Di pulau kelahiran itu saya jadi banyak mendengar kajian dan obrolan santai penuh makna dengan remaja masjid, atau pun ayah saya yang baru saja memulai masa pensiunnya dari pekerjaan. Berbicara dari hati ke hati membuat saya menyadari banyak hal, dan dalam beberapa hal, menerima tamparan menyakitkan tentang diri saya. Betapa saya ini masih belum juga pandai bersyukur dan selalu mengeluh.
Saya selalu saya menemukan hal untuk dibuat sarana(?) saya untuk mengeluh. Tentang kantor saya yang tidak menghasilkan uang, tentang saya yang tidak memiliki uang untuk berbelanja banyak hal seperti teman-teman saya yang lain, tentang saya yang tidak juga dikaruniai anak selama tiga tahun pernikahan saya, tentang hal apapun. Saya selalu mengeluh.
Padahal sekarang, setelah saya berpikir dengan kepala dingin dan dengan ketenangan yang mulai saya dapatkan secara perlahan ini, saya bisa melihat bahwa hidup saya jauh lebih beruntung dari kebanyakan orang di luar sana. Saya masih memiliki kedua orang tua yang sehat, keluarga yang rukun, suami yang sabar dan bertanggung jawab, tidak pernah kekurangan makanan untuk setiap harinya.
Teman saya sejak kuliah strata 2, Inyes, bertanya pada saya "Apa sih yang sebenarnya kamu kejar kat? Rumah sudah ada, kamu tidak memerlukan poin seminar untuk pindah kantor, kamu tidak menyewa kantormu karena itu rumahmu, kamu punya suami yang melihatmu seperti kamu adalah semua jawaban dari doa-doanya. Orang tuamu menyayangimu." lalu dia menambahkan, "Kita jangan melihat standar hidup orang lain, karena tidak akan ada habisnya."
Lalu percakapan dengan ayah saya minggu lalu di pulau, bahwa kehidupan saya sekarang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan ayah dan ibu saya ketika mereka baru memiliki saya sebagai anak pertama. Dimana mereka diusir dari rumah salah satu paman saya lalu diberikan pinjaman tempat tidur asal bisa membuat kamar sendiri. Sehingga ayah saya mencari triplek dan membuat sekat untuk kamarnya bersama ibu dan saya kala itu. Dimana ibu saya harus berjualan apapun ke pasar dan akan menangis ketika jualannya tidak ada satu pun yang terjual. Ibu saya adalah anak bungsu dari 7 bersaudara, dahulu dimanja dan harus hidup seperti itu ketika sudah menikah dan mempunyai anak. Harus merasakan kerasnya hidup dimana ketika membeli bakso dengan uang 50 rupiah hanya akan mendapatkan satu biji pentol dan kuah saja. Itupun dimakan berdua dengan saya.
Saya menangis. Menangis dan terus menangis.
Sungguh tidak bersyukurnya saya. Ketika sekarang saya hidup di sebuah rumah bertingkat 2 dengan 8 kamar, rumah yang juga memiliki ruangan untuk kantor Notaris saya dan juga sekarang toko kelontong yang bisa memberikan uang yang tidak sedikit untuk saya belanjakan. Begitu pun saya masih saja mengeluh.
Astaghfirullah...
Saya akan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya akan berusaha untuk menjadi makhluk dan umat Islam yang lebih pandai bersyukur dan beribadah. Saya akan berusaha untuk menjadi anak yang lebih berbakti, dan menjadi istri yang lebih menurut pada suami. Saya akan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi mulai sekarang.
Semoga Allah mendampingi saya dalam menjalankan niat ini.
Amien...