Thursday, November 14, 2019

Introspeksi daripada menyalahkan

   Beberapa hari lalu saya baru kembali dari pulau kelahiran. Karena ada perayaan Maulis Nabi, saya dan suami memutuskan untuk menutup toko dan kantor di rumah dan kembali ke kampung halaman. Karena disana, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran dan meriah. Tali silaturrahmi terjalin dengan sangat solid dan penuh suka cita.

   Di pulau kelahiran itu saya jadi banyak mendengar kajian dan obrolan santai penuh makna dengan remaja masjid, atau pun ayah saya yang baru saja memulai masa pensiunnya dari pekerjaan. Berbicara dari hati ke hati membuat saya menyadari banyak hal, dan dalam beberapa hal, menerima tamparan menyakitkan tentang diri saya. Betapa saya ini masih belum juga pandai bersyukur dan selalu mengeluh.

   Saya selalu saya menemukan hal untuk dibuat sarana(?) saya untuk mengeluh. Tentang kantor saya yang tidak menghasilkan uang, tentang saya yang tidak memiliki uang untuk berbelanja banyak hal seperti teman-teman saya yang lain, tentang saya yang tidak juga dikaruniai anak selama tiga tahun pernikahan saya, tentang hal apapun. Saya selalu mengeluh.

   Padahal sekarang, setelah saya berpikir dengan kepala dingin dan dengan ketenangan yang mulai saya dapatkan secara perlahan ini, saya bisa melihat bahwa hidup saya jauh lebih beruntung dari kebanyakan orang di luar sana. Saya masih memiliki kedua orang tua yang sehat, keluarga yang rukun, suami yang sabar dan bertanggung jawab, tidak pernah kekurangan makanan untuk setiap harinya.

   Teman saya sejak kuliah strata 2, Inyes, bertanya pada saya "Apa sih yang sebenarnya kamu kejar kat? Rumah sudah ada, kamu tidak memerlukan poin seminar untuk pindah kantor, kamu tidak menyewa kantormu karena itu rumahmu, kamu punya suami yang melihatmu seperti kamu adalah semua jawaban dari doa-doanya. Orang tuamu menyayangimu." lalu dia menambahkan, "Kita jangan melihat standar hidup orang lain, karena tidak akan ada habisnya."

   Lalu percakapan dengan ayah saya minggu lalu di pulau, bahwa kehidupan saya sekarang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan ayah dan ibu saya ketika mereka baru memiliki saya sebagai anak pertama. Dimana mereka diusir dari rumah salah satu paman saya lalu diberikan pinjaman tempat tidur asal bisa membuat kamar sendiri. Sehingga ayah saya mencari triplek dan membuat sekat untuk kamarnya bersama ibu dan saya kala itu. Dimana ibu saya harus berjualan apapun ke pasar dan akan menangis ketika jualannya tidak ada satu pun yang terjual. Ibu saya adalah anak bungsu dari 7 bersaudara, dahulu dimanja dan harus hidup seperti itu ketika sudah menikah dan mempunyai anak. Harus merasakan kerasnya hidup dimana ketika membeli bakso dengan uang 50 rupiah hanya akan mendapatkan satu biji pentol dan kuah saja. Itupun dimakan berdua dengan saya.

   Saya menangis. Menangis dan terus menangis.
   Sungguh tidak bersyukurnya saya. Ketika sekarang saya hidup di sebuah rumah bertingkat 2 dengan 8 kamar, rumah yang juga memiliki ruangan untuk kantor Notaris saya dan juga sekarang toko kelontong yang bisa memberikan uang yang tidak sedikit untuk saya belanjakan. Begitu pun saya masih saja mengeluh.

   Astaghfirullah...
   Saya akan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya akan berusaha untuk menjadi makhluk dan umat Islam yang lebih pandai bersyukur dan beribadah. Saya akan berusaha untuk menjadi anak yang lebih berbakti, dan menjadi istri yang lebih menurut pada suami. Saya akan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi mulai sekarang.

   Semoga Allah mendampingi saya dalam menjalankan niat ini.
   Amien...

Sunday, September 29, 2019

Buka Toko sebagai jaminan masa depan(?)

Terkadang saya memikirkan banyak hal.
Apa sih yang saya ingin lakukan?
Apa sebenarnya tujuan saya hidup?
Saya ini sebenarnya hidup untuk siapa?

Ah, setelah saya pikir lagi, semua hal diatas ini tidak lebih dari karena tingkat kejenuhan saya terhadap hidup. Karena saya sering merasa, semakin bertambah umur kok saya tidak kemana-mana. Selalu saja berjalan di tempat, bahkan melangkah mundur?

Di usia saya yang sudah menginjak 30 tahun ini, saya merasa saya belum mencapai apapun. Tentunya ini hanya pemikiran saya saja, walau pada kenyataannya seharusnya saya lebih pandai bersyukur. Tidak semua orang bisa memiliki apa yang sama miliki sekarang. Suami yang mencintai saya, rumah saya sendiri, orang tua yang masih lengkap, keluarga yang (insyaAllah) selalu bahagia, jabatan saya sebagai Notaris, dan sebagainya.

Walaupun kantor saya seperti kuburan di malam hari -hanya ada beberapa pengunjung saja yang mungkin ingin mengambil tali pocong ato tanah kuburan untuk jimat(?), saya seharusnya tetap bersyukur atas semua anugerah Allah pada saya. Namun, ada saja yang membuat saya mengeluh. Kantor sepi lah. Tidak ada pemasukan lah. Apalah. Dasar manusia,

Kepala saya juga dipenuhi pertanyaan yang tidak baik seperti, apa sih gunanya saya buka kantor Notaris kalau tidak ada hasilnya? Mengapa juga saya dulu mau saja mengikuti perintah ayah saya untuk bersekolah di jurusan Hukum dan Kenotariatan demi mengejar jabatan Notaris yang sekarang justru terasa membebani saya. Saya ini hidup untuk diri sendiri atau ayah saya sebenarnya?

Yah, pemikiran tolol.

Tentu saja ayah saya hanya memikirkan yang terbaik untuk saya. Sebagai ayah yang memiliki dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki, ayah saya ingin saya, anak perempuannya yang pertama untuk memiliki pekerjaan yang tidak membuat saya harus keluar rumah. Sehingga jika saya menikah, saya bisa tetap mengurus rumah, suami dan (insyaAllah) anak saya pun masih bisa bekerja di rumah, di kantor sendiri. Saya tidak harus bekerja pada orang, dan syukur-syukur bisa memberikan pekerjaan pada orang lain sebagai staff di kantor saya. Meskipun belum bisa melakukan itu semua untuk saat ini, saya yakin, bismillah, Allah akan memberikan saya kesempatan untuk melakukan semua impian ayah saya suatu saat nanti.

Nah, berbekal keyakinan baru saya itu saya teteap membuka kantor saya hahahahah
Juga, sekarang saya akhirnya memiliki kegiatan baru selain menunggui kantor Notaris saya yang sepi seperti kuburan (krik!). SAYA BUKA TOKO HAHAHAHAH

Iya, jadi demi membayar listrik dan wifi, saya pun sekarang jadi penunggu toko milik sendiri.

Awalnya ayah saya mengatakan, apakah saya tidak malu untuk menjaga toko? Berjualan benda-benda kebutuhan rumah tangga, telur dan sebagainya.

Pertanyaan yang aneh.
Untuk apa malu yah. Orang bukan jadi maling. Kalau jadi maling, apalagi maling uang negara itu yang seharusnya malu, iya gak? wkwkwk

Hari ini, usia toko saya baru 29 hari, dan ternyata menjadi penjaga toko sendiri itu menyenangkan. Cuma tinggak duduk, sambil baca buku ataupun menulis blog seperti sekarang pun bisa. Jika ada orang ingin membeli sesuatu, dilayani dengan penuh senyum, lalu lakukan lagi kegiatan menunggu pembeli sambil membuat makanan, membaca buku, menulis, bahkan tiduran sambil menonton video di kanal youtube. Semua bisa dilakukan. Santai, namun tetap bermanfaat.
Penampakan Toko saat awal buka
Kantor saya?
Tenang saja. Toko dan kantor saya kan berada di rumah saya. Jika ada suara bel tanda ada tamu di kantor, saya tinggal berjalan cepat ke ruangan sebelah untuk memberikan pelayanan hukum sesuai dengan kode etik yang dipegang jabatan saya, hehe.

Alhamdulillah ya Allah...
Karena walau banyak cobaan yang engkau berikan sebagai rasa sayangmu padaku, engkau masih memberi kesempatan untuk saya agar lebih pandai bersyukur atas setiap nikmat yang enggak berikan pada saya dan keluarga.
Jangan lelah mendengar keluh kesah hambamu ini, karena namanya juga manusia, kadang suka khilaf, hihi :)

Saya akan semangat!
Mulai sekarang akan mengisi kembali blog ini, sambil mengisi waktu luang kala menjaga toko. Semoga saya niat saya untuk kembali rajin menulis ini tidak berhenti di tengah jalan yah. Hahaha

Salam hangat,
Ikat Rina