Mungkin pertanyaan tersebut
terasa sangat janggal untuk pertanyaan menyangkut Guru yang selama ini selalu
identik dengan image seorang Pendidik
atau Pengajar. Tapi bagi saya, ada (tetapi tidak semua) guru yang bisa saya
sebut, tidak sebagai seorang Pendidik yang mendidik anak didiknya di sekolah
untuk menjadi lebih baik atau seorang Pengajar yang mengajarkan ilmu yang
berguna kepada murid-muridnya, tapi sebagai seorang Pemberi Tugas yang
membebankan banyak pekerjaan.
PR.
PR atau singkatan dari Pekerjaan
Rumah adalah 2 huruf yang paling sering saya (dan mungkin anda semua) lihat di
status anak-anak yang masih duduk di bangku SMP – SMA atau bahkan SD jaman
sekarang, baik di Facebook, Twitter, atau di beberapa jejaring sosial lainnya.
Bukan hanya anak-anak tersebut,
adik saya sendiri –yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP- dan saya juga
mengalaminya ketika masih menjadi seorang pelajar.
Saya ingat betul ketika saya
masih sebagai murid di bangku kelas 2 SMP, bagaimana dulu ada seorang guru yang
memasuki ruangan lalu menulis di papan tulis.
“Kerjakan LKS (Lembar Kerja
Siswa) dari halaman 20-40.”
Lalu kemudian beliau duduk di
bangkunya menunggu hingga jam pelajaran tersebut berakhir dan menyuruh
menyumpulkan tugas yang kami kerjakan sesuai instruksinya tersebut. Lalu kembali
memberikan beberapa tugas kepada kami (murid di kelas 2-C) untuk dikerjakan di
rumah dan kumpulkan minggu depan pada saat mata pelajaran tersebut kembali.
Intinya, yang kami lakukan selama
jadwal pelajaran tersebut adalah mengerjakan LKS dan soal-soal di buku Kitab
yang disediakan dan lalu membawa pulang soal-soal lain untuk dikerjakan pada
malam harinya.
Adik saya, yang tahun ini (2012)
menjadi murid kelas 3 SMP juga mengalami hal yang serupa. Ada beberapa guru
yang masih memberikan Pekerjaan Rumah (PR) setelah dia selesai mengikuti
seluruh pelajaran sekolah dan Les Tambahan, mengingat dia akan menghadapi ujian
nasional tingkat sekolah menengah pertama.
Bukan hanya saya dan adik saya
yang mengalami hal ini, banyak murid lain di seluruh Nusantara ini yang saya
yakin juga pernah mengalami atau masih mengalami hal ini. Tumpukan tugas yang
menanti mereka, tidak hanya dari 1 mata pelajaran namun lebih dari 1 mata
pelajaran memiliki Pekerjaan Rumah untuk dibawa pulang, dan harus dikerjakan.
Coba anda sekalian bayangkan
bagaimana otak para pelajar yang digunakan sejak jam 7 pagi hingga siang hari,
lalu bagi yang memiliki les tambahan atau mengikuti bimbingan belajar harus
menggunakannya hingga sore hari, harus di forsir kembali untuk berpikir di
malam hari untuk mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Mereka bahkan tidak
punya waktu untuk beristirahat atau bermain dengan teman-teman sebayanya.
Menurut saya, pemberian Pekerjaan
Rumah setiap harinya tidaklah terlalu penting. Mungkin berguna untuk mendidik
murid-murid menjadi lebih bertanggung jawab dalam mengerjakan tugas yang
diberikan. Namun coba kalau dipirkan dari sudut pandang lain, bagaimana apabila
justru tugas ini yang menjadikan para murid jenuh untuk belajar secara terus
menerus? Membuat murid menjadi muak dengan semua yang mereka kerjakan dari pagi
sampai malam?
Terutama bagi siswa Sekolah Dasar
(SD), yang mana menurut saya tidak perlu untuk diberikan Pekerjaan Rumah namun
cukup diajarkan selama di sekolah. Menurut saya (lagi), menanamkan /
mengajarkan ilmu kepada murid sekolah dasar sama seperti membuat Pondasi ketika
membangun rumah.
Kalau harus di jabarkan, ketika
di tingkat Taman Kanak-kanak, adalah perkenalan dan awal dari segalanya. Diumpamakan
dengan proses membangun rumah maka di Taman Kanak-kanak adalah dimana kita
diperkenalkan mana yang disebut Batu Bata, Pasir, Semem, dan lain sebagainya.
Lalu di Sekolah Dasar adalah
dimana membangun Pondasi yang kuat untuk mebangun rumah tersebut. Tidak perlu rapid
an sempurna, namun kokoh dan dapat menopang bangunan rumah yang akan di bangun
kemudian hari. Jadi tidak perlu mencekoki para murid dengan tambahan Pekerjaan
Rumah bagi murid-murid Sekolah Dasar, cukup ajarkan yang seperlunya di sekolah,
buat mereka mengerti apa yang para guru ajarkan.
Lalu bagaimana dengan sekolah
yang menerapkan sistem Full Day School?
Saya banyak mendengar wali murid
yang menyekolahkan putra-putrinya di sekolah Full Day School dan masih mendapat setumpuk pekerjaan rumah dari
para guru di sekolah itu. Anak-anak tersebut menjadi merasa terbebani dengan
semua itu. Well… saya pun demikian,
karena SMA saya dulu menerapkan sistem full
day school juga.
Beberapa orang sering berkata
kepada saya bahwa hal tersebut kemungkinan karena guru yang malas untuk
mengajarkan semua materi yang seharusnya mereka ajarkan kepada para murid sehingga
mereka memberikan Pekerjaan Rumah yang banyak. Saya jadi berpikir, mungkin
benar juga seperti itu. Namun saya tahu bahwa tidak semua guru seperti itu.
Saya tahu bahwa masih banyak guru
yang benar-benar memiliki tujuan murni untuk mendidik murid-muridnya untuk
menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa berguna untuk bangsa dan Negara, agama
dan keluarga, serta untuk diri murid itu sendiri. Saya bukannya merasa sok atau
merasa berhak untuk menhakimi para guru, namun disini saya hanya menyampaikan
pendapat saya mengenai guru yang memberikan Pekerjaan Rumah yang berlebihan
kepada para murid, khususnya murid Sekolah Dasar.
Mungkin alangkah baiknya apabila
para Guru lebih menfokuskan untuk mengajarkan materi yang diperlukan para murid
di kelas hingga mereka mengerti dan tidak justru membebankan segudang Pekerjaan
Rumah untuk dikerjakan para murid sepulang sekolah. Dengan begitu para murid
jadi memiliki waktu untuk mengistirahatkan otak mereka agar kembali segar untuk
mengikuti pelajar keesokan harinya.
Mungkin seperti ini saya tulisan atau pendapat
saya sebagai sumbangan pikiran untuk pendidikan di Indonesia. Saya berharap
bahwa semua guru di Indonesia menjadi Pendidik, bukan Pemberi Pekerjaan Rumah
atau Pemberi Tugas kepada murid-muridnya.
<a href="http://www.indonesiaberkibar.org"><img src="http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-1.jpg" style="width: 400px; height: 400px;" /></a>
No comments:
Post a Comment